SURAT TERAKHIR UNTUK PUTRAKU TERCINTA

Waktu itu, 10 Oktober 1881. Suasana gerimis mendung mengundang duka yang teramat dalam. Itulah saat yang terakhir aku melihatnya. Seseorang yang sangat aku cintai. Aku ingat betul bagaimana rasanya ketika aku berada dipangkuannya. Penuh kehangatan dan ketenangan. Hening kini terasa. Penyesalan yang sangat teramat mendalam.

Ketika kini ku buka jendela hanya angin yang bertiup senja. Menceritakan suatu kenangan yang tak pernah bisa untuk terlupakan. Dan disitulah aku terdiam melihat beberapa baying-bayang lama itu. Sempat kuingat beberapa memori terindah bersamanya. Bayang-bayangku ketika masih cerah pagiku menanti. Sekelibat, aku melihat aku terperanjat dari tatapan kosongku. Secara tidak sengaja, aku menjatuhkan sebuah buku. Kemudian kuambil buku itu. Kutatap  satu persatu isi buku itu.  Betapa merasa sedih hatiku ketika dibuai masa lalu bersamanya. Sebuah album kecil itu, ku buka satu per satu, halaman demi halaman. Terlarutlah aku dalam kesedihan. Air mata menetes sedikit demi sedikit. Begitu besar memoriku tentang cintanya padaku.

Akhirnya kutilik dan kuingat kembali masa-masa itu. Begitu indah nan syahdu lantunan lagu sebelum tidur itu. Aku mulai teringat kembali beberapa percakapan itu.

Aku : “Ibu, kalau besar nanti ibu pengen aku jadi apa?”

Ibu : “Ibu pengen kamu menetukan sendiri apa pilihanmu. Ibu yakin kok kamu bisa. Ibu juga yakin kalau apa yang kamu pilih nanti adalah jalan terbaik dalam hidupmu”

Aku : “Aku sayang banget sama ibu…”

Ibu : “Sama dong,.. Ibu juga sayang kamu nak, tidur dulu yuk.. udah malam.. Ibu nyanyiin ya!”

Ibu : “Ninaa bobok, oh niina bobok… kalau tidak bobok digigit nyamuk……”

Entah mengapa pada saat itu aku merasa melihatnya meneteskan air matanya. Matanya yang memerah dan berkaca-kaca. Mungkin aku tak menyadarinya karena aku masih berumur 12 tahun. Namun kudengar betul lagu ungkapan kasihnya itu. Dan terdengar agak serak basah yang membuatku terbawa suasana, tanpa sadar ikut meneteskan airmata, dan tertidur lelap di kehangatan pangkuannya. Itukah ikatan batin antara anak dengan ibu? Sungguh ku teringat kembali waktu itu. Pada akhir lagunya, meskipun sayup-sayup ku dengar Ibu berkata, “Bertahanlah nak .. Suatu saat nanti kau akan menjadi orang besar.. meskipun tanpa Ibu sekalipun”.

Beberapa tahun setelah itu, Ibuku jatuh sakit.  Aku tak tahu apa penyebabnya. Enam hari setelah ibuku sakit, waktu itu masih berada di sekolahku. Tak lama selang waktu istirahat, bapak kepala sekolah menghampiriku.

Kepala Sekolah : “ Nak, maafkan bapak… Tolong diterima dengan ikhlas ya berita ini!”

Aku : “ Berita apa ? ”

Kepala Sekolah : “ Tadi ada kabar dari rumah sakit. Ibu mu sedang kritis.. Saat ini dia berada dirumah sakit kasih ibu”

Dengan wajah yang muram, kecewa, pikiran yang kosong, dan perasaan serba salah,  aku langsung berlari menuju rumah sakit kasih ibu, di mana tempat aku dilahirkan. Aku berlari sekuat tenaga sambil berteriak melampiaskan rasa sakit yang ada dihati ini. Sampailah aku diruang pelayanan. Tak berhenti aku berlari menuju ruang ibuku. Dengan nafas terengah-engah kubuka pintu kamar itu. Tak kusangka, aku tak percaya apa yang kulihat. Kulihat ayah dan adik-adikku yang sedang menangis tersedu. Saat itu kulihat seraut wajah yang tak asing bagiku. Seraut wajah yang penuh kasih, yang kini telah tak bernyawa. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan pada akhirnya kutemukan dirinya telah tiada. Begitu sedih hati ini. Melihat orang yang ku cintai telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Terbayang dalam benakku, saat diriku berada dipangkuannya yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku pun menangis tak bisa merelakan kepergiannya.  Kapankah aku bisa membalas semua budi baik yang telah dia berikan kepadaku? Di tempat inilah aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali, dan di sini pula aku bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya. Meskipun dia tak mengucapkan sepatah kata pun pada ku sebelum dia pergi.

10 tahun berlalu sejak kejadian itu, aku sudah berpindah rumah. Waktu sudah larut malam, sudah saatnya untuk tidur. Kulihat sebuah album terselip didalam almari bajuku, ketika aku naik ke tempat tidurku. Dengan penuh penasaran aku ambil album foto itu. Kubuka halaman pertamanya. Aku melihat sebuah surat yang terselip di sampul depan album itu. Dengan penuh rasa penasaran kubaca surat itu.

Kepada Putraku 

Yang tercinta…

Ini adalah ungkapan terakhir dari Ibumu. Bacalah anakku, jika suatu saat kamu merindukan ibu. Ibu tahu mungkin kamu sudah dewasa ketika kamu membaca surat ini. Apa kabar anakku? Semoga Allah selalu memberikan rahmatnya kepadamu. Ibu ingin sekali bisa bercanda, tertawa, dan bermain lagi dengan putraku ini. Kalau panjang umur Ibu ini, pastilah Ibu ingin bisa melihatmu menikah dan menimang anakmu wahai putraku. Namun, Ibu tahu kalau umur ibu tidak panjang. Janganlah kamu kecewa. Mungkin ini yang terbaik dari Allah nak…

Ibu kira memang sudah saatnya kamu tahu tentang semuanya. Dulu ketika kamu berumur tujuh tahun, kamu pernah mengalami kecelakaan fatal nak. Waktu itu kamu dalam kondisi tak sadarkan diri. Mungkin kamu akan sedikit mengingat kejadian itu nak. Akhirnya kamu dilarikan ke rumah sakit. Rumah sakit itulah yang menjadi tempat pertama kali kita bertemu, dan mungkin juga rumah sakit tempat terakhir ibu menuliskan goresan tinta yang sedang kamu baca sekarang. Ibu sangat terkejut sekali, ketika dokter mengatakan bahwa anakku yang tersayang  ini mengalami kerusakan ginjal sebelah akibat dari kecelakaan itu. Ibu tidak tahu apa yang bisa ibu lakukan agar kamu bisa selamat nak. Satu-satunya jalan mungkin hanya dengan pencangkokan ginjal agar kondisimu bisa stabil. Dan waktu itu, dari beberapa tes ginjal yang dilakukan oleh beberapa pendonor, mungkin hanya ginjal Ibu lah yang cocok untuk mu. Sehingga Ibu memutuskan untuk memindahkan sebelah ginjal Ibu menjadi milik  anakku tersayang ini. Saat ibu menulis goresan ini, ibu dalam kondisi yang mungkin sama seperti kamu waktu itu. Ibu sangat bahagia dapat berbagi penderitaan ini bersama satu-satunya putraku yang tercinta ini. Ibu bahagia dapat merasakan penderitaan yang pernah kamu alami nak.. Jadi Ibu mohon jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri.. Kamu masih muda, punya masa depan, tak apalah bagi seorang Ibu untuk menanggung beban ini, karena kamulah penerus Ibu. Ibu harap meskipun sekarang ini kita tidak bertatap muka secara langsung, namun Ibu minta kamu tersenyum sekarang. Ibu ingin melihat senyuman mu dari Surga nak. Untuk lima menit saja, Ibu ingin kamu menutup matamu dan bayangkan kembali ketika kamu tidur diatas pangkuan Ibunda ini. Ibu sangat merindukan saat itu.

Sudah lima menit kah nak?? Atau mungkin lebih dari lima menit. Tak apalah, asalkan kamu bisa bahagia. Inilah surat terakhir untukmu yang Ibu titipkan kepada Ayahmu.

Di ujung penutup kalimat ini Ibu ingin berpesan beberapa hal nak. Ibu ingin banget kamu belajar yang rajin, Ibu ingin melihat kamu jadi anak yang sukses, Ibu ingin supaya kamu menjaga ayah dan adik-adikmu.  Dan yang terpenting adalah jangan lupa sholat wajib nak, .. jangan lupa sholat malam,.. doakan ibu yang selalu merindukanmu ini, tolong juga nak.. jangan lupa membaca Al-Qur’an, dan jangan lupa jaga kesehatanmu.  Bila kamu masih kangen sama Ibu, Ibu selalu ada disampingmu nak. Melihatmu dari surga milik Allah,. Suatu saaat nanti pasti ada saatnya ketika kita akan bertemu kembali nak. Dan Ibu adalah orang yang paling bahagia karena memiliki seorang putra sepertimu.. Inilah tulisan terakhir dari ibu.. Tangan ini sudah tak sanggup lagi untuk menulis nak.. Laa ila ha illallah.. Di penutup surat ini nak, Ibu ingin mengatakan bahwa Ibu sangat mencintaimu.

Salam Cinta Tulus kepadamu

Dari Ibumu….

 

Itulah surat terakhir dari Ibu yang kubaca 10 tahun setelah Ibu meninggal. Aku harap aku bisa melihatmu lagi Ibu. Sekarang aku masih duduk di bangku kuliah. Mungkin ketika sudah tiba saatnya nanti, aku akan membawa keluargaku dan memperkenalkannya kepada Ibu di Surga Allah kelak. Terima kasih atas kasih sayangmu yang tak pernah usai……. Oh Ibu……..

Judul  :  SURAT TERAKHIR UNTUK PUTRAKU TERCINTA

Karya :  Yusfia Hafid Aristyagama