Ma’rifatul Islam

Mengenal Islam adalah istilah yang sering digunakan untuk mendefinisikan Ma’rifatul Islam. Perlu suatu paradigma untuk mengenal Islam. Paradigma tersebut merupakan paradigma yang tidak boleh lepas sebagai penunjang untuk mengenal Islam. Paradigma yang harus dibangun dalam ma’rifatul Islam adalah sebuah kekontinyuan(ketersinambungan) dari zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kekontinyuan disini adalah ketersinambungan ajaran yang tak terpisahkan dan semakin sempurna.

Yang perlu diperhatikan adalah mengapa paradigma tersebut harus dibangun? Ada beberapa alasan yang mendasari seorang muslim agar memperhatikan paradigma tersebut.

Adanya separatism antara masa dari tiap nabi. Sebelum mencoba membahas lebih lanjut lagi akan ada sebuah pertanyaan. Mengapa ada dikotomi antara Islam, Kristen, dan Yahudi? Padahal dari masa kemasa seharusnya antara nabi satu ke nabi yang lain seharusnya saling berkesinambungan ajarannya. Ternyata hal ini disebabkan karena tidak ada yang menjamin al kitab yang ada ditiap masa tersebut terjaga. Barulah ketika masa Nabi Muhammad itu Allah menjamin kemurnian ajaran Islam dalam Al-Qur’an. Dalam ajaran yahudi sudah tak jelas apakah ajarannya saat ini. Bibel pun sudah banyak versinya. Coba perhatikan Apakah ada orang yang hafal dengan kitab Bibel? Namun pada saat Al-Qur’an turun barulah Allah memberikan jaminan keaslian Al-Qur’an sampai akhir zaman nanti. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan atau eksistensi para Hafidz Qur’an (penghafal Al-Qur’an). Mereka itu yang dijadikan Allah sebagai perantara untuk menjaga Eksistensi Keaslian Al-Qur’an. Dan yang perlu ditanyakan untuk membuktikan hal tersebut adalah apakah Al-Qur’an itu terbagi menjadi versi-versi yang berbeda? Tentu saja tidak. Semua orang Islam di dunia menggunakan pedoman Al-Qur’an yang bisa dikatakan sama isinya. Tidak pernah di rubah dengan sistem interlocknya. Bahkan sampai sekarang pun tak ada orang yang bisa membuat kitab yang menyamai Susunan ayat Al-Qur’an dan juga keindahannya ayatnya.

Masih terkati dengan paragraf di atas, coba perhatikan Q.S As-Shaff:5-6.

Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya : Hai Kaumku, mengapakah kamu menyakitiku, pada hal kamu mengetahui, bahwa aku adalah rasul Allah kepadamu. Maka tatkala mereka condong, Allah mencondongkan hati mereka. Allah tidak menunjuki kaum fasik(QS As-Shaff :5)

Ingatlah ketika ‘Isa anak Maryam berkata : Hai Bani Israil, sesungguhnya aku rasul Allah kepadamu, serta membenarkan apa yang sebelumku, yaitu Taurat dan member kabar gembira dengan seorang rasul, yang akan datang seorang Rasul, yang akan datang kemudianku, namanya Ahmad(Muhammad), maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan, mereka berkata: Ini sihir yang nyata. (QS As-Shaff:6)

Jelaslah dengan ayat di atas bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang ingkar, kemudian bani israil dengan tauratnya tidak percaya terhadap ketadangan seorang Rasul (Muhammad)  padahal sudah jelas dikatakan oleh Isa tentang hal tersebut. Namun kebanyakan dari Bani Israil tersebut tidak mengakuinya. Jelas pula berdasar ayat 6 bahwa Taurat itu membenarkan ajaran yang sebelumnya, kemudian pada akhirnya, Taurat Di sempurnakan oleh Al-Qur’an. Itu adalah bukti kecil bahwa ajaran para nabi itu saling berkesinambungan.

Inti dari Islam dapat digambarkan dengan :
Syammil (Sempurna) dan Muttakammil (Menyempurnakan).

Syammil disini merujuk pada ajaran Islam yang sempurna(Secara Internalnya). Syammil menjelaskan bahwa islam itu sempurna dalam ajarannya, konsep ketuhanannya, Ibadah, kenabiannya, Syari’at, Ekonomi, kedudukan umat, dan konsep Ilmunya dijelaskan secara jelas dan tuntas.

Muttakammil disini merujuk pada ajaran Islam dimana ajarannya menyempurnakan keluar (posisi eksternal). Contoh sederhananya adalah, di Eropa  ada bank berprinsip syari’ah. Ketika petingginya ditanya mengapa menggunakan prinsip syariah?  Ternyata agar lebih aman baik dari segi bisnis maupun bukan. Dengan kondisi tersebut pula, Terhindar dari sifat bunga bank yang dipandang abstrak dan mungkin merugikan.

Mengapa konsep syari’ah?

Seperti apa sih konsep syari’ah?

Konsep syari’ah merupakan bentuk perekonomian bagi hasil dan tak berbunga. Dalam hal ini ketika anda menabung, maka artinya anda meminjamkan uang anda ke bank tersebut, dan bank akan memanfaatkan pinjaman dari anda. Pinjaman tersebut akan digunakan untuk mengembangkan atau membuat usaha. Kemudian untungnya akan dibagi antara bank dan anda. Seperti itulah gambaran kecil. Sehingga uang yang dihasilkan adalah nyata-nyata uang yang beredar di perpasaran.

Bedakan dengan perbankan yang ada saat ini. Perbankan menerapkan prinsip bunga bank. Alhasil akan dihasilkan uang abstrak (bunga tabungan) yang entah dari mana diperoleh. Yang tertera hanya nominalnya saja, bukan uang yang nyata. Hal tersebut akan berdampak buruk bagi peredaran perekonomian negara.

Nah, sekarang sudah jelas mengapa Petinggi bank di eropa tersebut lebih memilih sistem konsep syari’ah. Jelas bahwa resikonya sangat minim dan manfaatnya lebih banyak.

Kembali ke pokok bahasan Awal bahwa ada beberapa paradigma yang harus diperhatikan dalam ma’rifatul Islam.

Paradigma selanjutnya yang harus dibangun adalah bahwa Islam itu adalah agama yang robbaniyah dan Insaniyah. Apa maksudnya? Agama Rabbaniyah itu berarti bahwa Islam itu asli berasal dan turun langsung dari Allah, bukan agama bekas atau sampah seperti agama di yunani tentang dewa-dewa yang sempat hilang kemudian ditemukan lagi. Dan Islam itu merupakan agama yang Insaniyah. Maksudnya ajarannya bisa diterima akal dan dipahami oleh manunsia, tentunya dalam hal ini bukan masalah yang Ghaib. Namun sesuatu yang ghaib itu tetaplah eksis, meskipun tak bisa dilihat secara langsung oleh manusia. Mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang diizinkan untuk melihat hal tersebut.

Konsep Alwala’ wal Bara’ di dalam Aqidah Islam

Sebenarnya kedua istilah tersebut dari kata Al wala’ dan wal Bara’. Al wala’ itu sama artinya dengan Kita mencintai sesuatu karena Allah dengan komitmen penuh. Sama saja kita berkomitmen untuk melakukan apa yang Allah Ridhai. Sebaliknya, wal Bara’ adalah kita membenci sesuatu karena Allah. Artinya kita tidak membenci sesuatu karena nafsu kita. Itu semua ada hubungannya dengan komitmen kita selaku makhluk ciptaan Allah terhadap Allah SWT. Sehingga segala sesuatu yang kita lakukan itu tidak berdasarkan nafsu.

Sebagai contohnya adalah :

Dalam sebuah ayat di dalam Al-Qur’an , Allah berfirman:

“Diwajibkan atasmu berperang, padahal hal itu suatu kebencian bagi kamu. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal baik bagi kamu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal amat buruk bagi kamu dan Allah Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah : 126)

Pada dasarnya, perang adalah sesuatu yang tidak disukai bagaimanapun itu bentuknya. Bahkan Rasulullah SAW pun sebenarnya juga benci untuk berperang. Namun, hal tersebut tidak membuat Rasul pantang terhadap perang. Kalau tidak terpaksa membela kebebasan, membela agama dan keyakinan tidak akan pernah beliau menyetujui perang. Karena berperang adalah sebuah komitmen untuk Allah, maka beliau bersedia berperang.

Seperti halnya nabi Muhammad, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail juga memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap Allah. Coba saja bayangkan ketika peristiwa Idul Qurban. Apakah mungkin seorang ayah tega untuk menyembelih putera tunggal satu-satunya? Bayangkan misalkan hal itu terjadi pada diri anda. Ketika anda adalah seorang ayah dan kemudian anda harus menyembelih anak anda atau sebaliknya, ketika anda adalah seorang anak dan anda akan di sembelih oleh ayah anda. Bagaimanakah perasaan anda. Saya yakin sekali, meskipun itu adalah perintah Allah anda tidak akan bersedia melakukannya. Tapi lihatlah Nabi Ibrahim, dengan taat beliau menjalankan perintahnya. Begitu pula nabi Ismail yang berkata “Jika itu adalah perintah Allah maka lakukanlah wahai ayah”. Sebuah komitmen yang sangat besar sekali bagi seorang anak dan seorang ayah. Pada akhirnya Allah menggantikan nabi Ismail dengan seekor domba. Itulah makna dari Al wala’.

Lain halnya dengan wal bara’, maka di sini jelas bahwa artinya membenci sesuatu karena Allah. Saya contohkan dalam sebuah perang Ali bin Abi Thalib hampir saja membunuh seseorang. Ketika beliau hampir membunuh orang tersebut, orang tersebut meludah ke muka Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib pun tidak jadi membunuh orang kafir Quraisy tersebut. Kemudian orang kafir Quraisy tersebut bertanya “Mengapa engkau tidak segera membunuhku?”. Ali pun menjawab, “Aku tidak akan membunuhmu karena dendam, aku membencimu karena Allah”. Padahal saat itu hanya tinggal beberapa sentimeter pedang Ali akan menusuk orang tersebut. SubhanAllah… Begitu besar refleks seorang Ali bin Abi Thalib membedakan antara dendam dengan benci karena Allah. Dalam hitungan mili detik, dia mampu membedakan antara dendam dan benci karena Allah. Itulah sosok seorang Ali bin Abi Thalib. Ketika anda menjadi Ali maka apa yang anda lakukan? Anda dalam posisi diludahi. Apakah anda tidak marah? Pedang anda pun dalam posisi jarak sejengkal dari leher orang tersebut. Saya yakin anda pasti akan menebas batang lehernya. Namun, Ali bin Abi Thalib tidak demikian. SubhanAllah

Pada dasarnya Al wala’ wal bara’ ini merupakan suatu perwujudan dari kalimat syahadat. Yang merupakan kalimat pembenaran kepada Allah dan penolakan terhadap selain Allah.

//