Konspirasi Fenomena Penyempitan Makna Kata

“Kata-kata bak senjata mematikan yang siap mengoyak lawan, lambat tapi pasti”

Fenomena penyempitan makna kata bukanlah hal yang asing didapati. Namun tidak semua orang sadar akan fenomena seperti ini. Perlahan tapi pasti, dan cara-cara seperti ini ternyata sangatlah efektif untuk menyerang pemikiran seseorang. Tentu saja fenomena seperti ini layaknya agenda brainwashing secara masal. Targetnya adalah semua kalangan berbagai usia dalam artian masyarakat umum.

Fenomena seperti ini tentu sangat merugikan bagi pihak yang sedang dicecar dan diserang. Penyerangan yang dilakukan secara perlahan ini telah berhasil mempengaruhi pola pemikiran sejuta umat. Yang lebih parahnya lagi, secara perlahan pula akan banyak orang yang menjadi masa agenda terselubung secara tidak sadar, akibat pengaruh pencucian pikiran melalui kata-kata ini.

Tentu pembaca sekalian pernah mengenal istilah “perlahan tapi pasti” ataupun “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Dan ternyata pepatah itu memang benar. Awal mulanya hanya membentuk opini publik tentang sebuah kata. Namun opini tersebut digiring dan diarahkan kepada hal-hal yang ternyata bersifat merugikan pihak lain. Awalnya pula sedikit orang yang terpengaruh terhadap hal tersebut. Namun karena konsistensi dan kegencaran dalam menyebarkan luaskan hal tersebut, lama-lama semakin banyak juga yang terpengaruh terhadap efek dari penyempitan makna kata ini. Akhirnya makna kata tersebut menjadi sebuah mainset di pikiran kalayak ramai.

Bukan bermaksud berlebihan, namun ternyata seperti inilah kenyataannya. Contohnya saja pada beberapa kasus yang sering disinyalir sebagai dampak dari fenomena penyempitan makna ini.

Ulama. Pasti kata ini sudah tidak asing lagi. Dalam bahasa arab kata ulama ini merupakan bentuk plural/jamak dari pada kata ‘alim. ‘Alim artinya adalah orang yang tahu. ‘Alim berasal dari kata ‘ilmi yang berarti ilmu. Jadi kata ulama ini pada dasarnya dipakai untuk orang yang tahu dalam segala bidang. Misalnya saja pakar IT, pakar Ekonomi, pakar Kenegaraan, dan lain-lainnya, mereka tergolong dalam sebutan ulama. Di Indonesia ternyata kata ulama tersebut menjadi spesifik untuk orang yang bergelar kyai saja. Bahkan di KUBI di sebutkan bahwa ulama adalah orang yang paham akan Islam saja. Semestinya selama dia adalah orang muslim dan dia ahli/pakar dalam suatu bidang dia disebut sebagai ulama. Akibatnya istilah ulama ini sekarang sudah tidak universal lagi.

Contoh kasus berikutnya adalah pada kata Cinta. Cinta pada umumnya dipakai untuk menyatakan perasaan dan ekspresi. Seperti halnya pada kalimat berikut :

  1. Saya cinta Allah
  2. Saya cinta Rasulullah
  3. Saya cinta istri saya
  4. Saya cinta keluarga saya
  5. Saya cinta teman saya
  6. Saya cinta arif sahabat dekat saya

Fenomena yang terjadi sekarang sungguh mengejutkan. Disadari ataupun tidak, ketika seseorang mengatakan cinta, pasti hal-hal yang pertama dibayangkan adalah hubungan interaksi antara lawan jenis. Persepsi seseorang terhadap kata cinta ini sama halnya seperti “Saya cinta pacar saya”. Padahal tidak seharusnya demikian. Persepsi kata cinta tidaklah sesempit itu. Dampaknya, jika ada seorang laki-laki mengatakan “Saya cinta sahabat saya bang Hilman”. Pasti orang lain berfikir bahwa dia adalah HOMO (menyukai sama jenis). Padahal cinta dalam kalimat tersebut persepsinya bukan seperti itu. Tidak selalu bahwa cinta itu adalah hubungan interaksi ataupun ekspresi antara lawan jenis.

Kasus berikutnya adalah penyempitan makna pada kata jihad. Ketika seseorang mengatakan kata jihad, pasti yang dipikirkan orang lain adalah perang, bom bunuh diri, dan sebagainya. Akuilah hal tersebut memang benar-benar nyata terjadi.  Padahal jihad dalam bahasa arab berarti bejuang atau bersungguh sungguh. Artinya bahwa berjihad disini bisa diaplikasikan terhadap hal-hal kecil seperti belajar, makan, minum, ibadah, dan semua hal-hal yang baik, jika itu semua dilakukan karena Allah dan dilakukan dengan sungguh-sungguh, itulah sebenarnya yang disebut dengan jihad. Akibat fenomena seperti ini dampaknya di masyarakat, banyak masyarakat yang mengalami islamophobia dan miss perception tentang jihad itu sendiri. Dan pada akhirnya agama Islam dirugikan terhadap hal ini. Ingatlah bahwa terorisme dan jihad itu adalah dua hal yang berbeda.

Itulah beberapa contoh kasus sebagian kecil dari penyempitan makna, dan sungguh sebenarnya masih banyak fenomena penyempitan makna lain yang terjadi. Penulis meyakini bahwa pastinya “Ada udang dibalik batu”, ada udang pula dibalik layar yang membuat konspirasi seperti ini terjadi dengan tujuan tertentu, karena tak ada akibat yang tak berasal dari sebab / sumber permasalahan itu sendiri.

Semoga hal seperti ini cepat disadari dan tidak menimbulkan banyak miss persepsi.

#Pena Tajam Penulis Kebenaran : Yusfia Hafid Aristyagama…..

Meruginya Bangsa dan Negaraku Akibat Berkiblat Budaya Barat

“Kebudayaan Indonesia mengalami proses pindah kiblat kepada budaya barat”

Kebudayaan barat kian menjamur di tubuh bangsa Indonesia. Lebih spesifik lagi, pada dasarnya dapat di saksikan bahwa korban sesungguhnya adalah generasi muda bangsa Indonesia. Secara langsung ataupun tidak, dapat disadari bahwa saat ini kebudayaan Indonesia tengah bertransformasi dan bergejolak untuk berkiblat terhadap budaya barat. Hal ini secara ilmiah bisa dibuktikan dengan tingkah laku, cara berpakaian, tata cara pergaulan, dan kebiasaan yang semakin merosot dan amoral dikalangan pemudanya.

Pergaulan pemuda semakin bersifat bebas. Hal tersebut adalah dampak dari pengaruh budaya barat. Tata cara berpakaian semakin lama semakin melewati batas kewajaran, dan kebiasaan pantang terhadap aturan dan norma semakin menjadi-jadi. Akibatnya free sex dan narkoba menjalar ke mana-mana.

Tidak semua pengidap HIV diakibatkan oleh freesex dan narkoba, namun pengidap HIV yang dikarenakan oleh hubungan free sex dan jarum suntik narkoba semakin meningkat. Ambil lah contoh di Depok, yang mengalami peningkatan 10 persen setiap tahun sejak tahun 2008. Hal tersebut dinyatakan oleh Irwansyah staf LSM yayasan Stigma wilayah Depok.

Hal tersebut tak hanya terjadi di wilayah Depok saja. Hal serupa terjadi di berbagai wilayah terutama kota-kota besar yang rata-rata pemudanya bergaya hidup ala kebarat-baratan. Tentu pemerintah berupaya untuk mengendalikan musibah seperti ini. APBN pun tak segan-segan di keluarkan untuk mengatasi masalah ini.

Mentri Kesehatan menegaskan pembiayaan Pengendalian HIV-AIDS melalui APBN terus meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula pembiayaan untuk mengadakan obat ARV yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 pengadaan obat tersebut mencapai angka sebesar Rp 17.9 M, pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 49.8 M, tahun 2009 Rp 43.2 M, tahun 2010 mengalami peningkatan tajam menjadi Rp 84.2 M dan pada tahun 2011 sendiri sebesar Rp 85.9 M.

Sungguh angka pengeluaran yang fantastis. Secara logika hal tersebut akan terus terjadi selama perilaku negatif seperti free sex dan narkoba tak dapat diatasi maupun dibendung. Dari manakah akar perilaku tersebut? Sudah jelas bahwa perilaku tersebut berasal dari pengaruh Budaya Barat yang selama ini menjadi virus bagi generasi muda.

Pengeluaran negara akan terus bertambah jika hal seperti ini dibiarkan membudaya. Jika saja penyakit seperti ini dapat ditekan jumlah penderitanya, pasti pengeluaran negara pun juga akan berkurang, dan pengeluaran itu dapat dimanfaatkan untuk hal lain seperti pengentasan kemiskinan, pengentasan gelandang dan pengemis, untuk masyarakat fakir miskin, dan problematika bangsa yang sejenis itu tentunya.

Bagaimana hutang Negara ini akan lunas jika pemuda bangsa ini terus diracuni dengan pemikiran budaya barat. Pada awalnya penyebabnya adalah budaya barat, dan pada akhirnya berujung pada pengeluaran Negara. Selama kebudayaan barat menguasai generasi muda, selama itu juga pengeluaran Negara akan terus mengalir menjadi tak terkendali.

Sebagai bangsa yang beradab, sudah barang tentu seharusnya bisa membedakan mana kebudayaan yang baik dan manakah kebudayaan yang buruk tentunya. Sudah barang tentu juga bahwa sebagai bangsa yang beradab, haruslah bisa membedakan mana yang sesuai dengan norma positif ataupun yang tidak sesuai dengan norma positif. Jangan sampai masalah racun peradaban menjadi penyebab hancurnya Negara.

Idolaku oh Idolaku. Salahkah aku mengidolakanmu?

Secara maknawi, idola adalah seseorang yang dikagumi karena suatu hal yang bisa jadi istimewa dari dirinya. Jika anda menemukan hal apapun yang bisa dikagumi maupun di Istimewakan dari diri seseorang, maka dia bisa menjadi seorang idola. Namun, idola sendiri tak hanya diterapkan untuk suatu hal yang bersifat positif. Sangat disayangkan bahwa ternyata kata idola itu juga disetarakan untuk suatu hal yang negatif sekalipun. Misalnya seperti mengidolakan seseorang karena ke ALAY-annya.

Sungguh sangat tidak penting ketika kita mengidolakan sesuatu terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak patut untuk di contoh. Sadar ataupun tidak, seseorang yang mengidolakan orang lain, pasti baik dari sifat, watak, maupun karakter idola tersebut akan mempengaruhi orang tersebut. Efek mengidolakan seseorang dalam hal yang negatif tentu saja besar. Jika saja hanya satu orang yang terpengaruh, mungkin hal tersebut tidak jadi masalah. Namun, kondisi dan realita bangsa yang terjadi sekarang tidaklah demikian. Bukan dalam bentuk individual seseorang mengidolakan orang lain, namun dalam bentuk jama’ah (orang banyak) walaupun hal yang mereka idolakan sebenarnya tidak beresensi. Akibatnya tentu saja fatal. Contohnya saja banyak orang yang mengidolakan orang lain dan rela menjadi fans beratnya, padahal orang yang diidolakan itu tergolong diidolakan misal saja karena ke alay-annya. Efeknya banyak orang yang ikut-ikutan alay. Akhirnya orang-orang tersebut menjadi orang yang tak produktif. Kalau satu orang tak produktif hidup di Indonesia pun tak jadi masalah, namun kalau sudah sampai menembus angka berjuta-juta jiwa, itulah yang kita sebut sebagai masalah besar.

Salahkah ketika kita mengidolakan seseorang? Banyak hal yang perlu kita tinjau kembali saat kita menjadikan seseorang menjadi idola kita. Kita harus memandang dari berbagai sudut pandang tentunya. Apakah hal yang kita idolakan dari seseorang itu membawa sisi positif, ataukah malah sisi negatifnya? Apakah hal yang kita idolakan itu patut kita contoh atau kah sebaliknya? Apakah hal yang kita idolakan itu esensif ataukah tidak? Apakah hal yang kita idolakan itu akan membawa manfaat untuk masa depan yang lebih baik atau malah tak berpengaruh apapun terhadap masa depan kita?

Melihat beberapa parameter di atas, sebenarnya ada satu manusia yang benar-benar pantas dijadikan idola. Tentu saja idola itu adalah Nabi MUHAMMAD SAW. Idola seharusnya adalah orang yang pantas untuk dijadikan teladan. Idola adalah orang yang mengajarkan kebaikan dan bukan sebaliknya. Idola adalah seseorang yang mengajarkan esensi hidup baik. Jika masih belum tau siapa nabi Muhammad, maka bacalah dan cari taulah di Sirah Nabawiyah. Di situlah kita dapat menemukan sosok luar biasa nabi Muhammad SAW. Jangan idolakan BoyBand, karena tak ada manfaatnya. Jangan idolakan GrupBand, karena juga tak ada manfaatnya. Jangan idolakan preman, karena sama sekali tak bermanfaat. Idolakan orang yang benar agar kita juga menjadi orang benar. Muhammad adalah Idola terbaik sepanjang masa.

Awas! Anak suka Nonton Sinetron? Bahaya…


“Penyebab hancurnya peradaban bangsa adalah perilaku buruk generasi muda yang sudah mengakar dan menancap dalam, lalu menjadi sebuah budaya”

Pada dasarnya sinetron merupakan singkatan dari kata “sinema” dan “elektronik”.  Dari dua kata ini saja kita sudah dapat mengartikan bahwa sinetron adalah sebuah sinema yang disiarkan melalui media elektronik. Acara seperti ini biasa di tayangkan melalui televisi.

Sinetron merupakan hiburan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini menjadi sebuah hal yang membudaya di penjuru masyarakat luas. Acap kali setiap orang yang punya televisi juga suka menonton sinetron.

Dalam sebuah penelitian Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah NTT Mutiara Mauboy mengatakan sebanyak 81% anak di provinsi kepulaun itu menghabiskan waktunya setiap hari menonton televisi bersegmen hiburan dan sinetron. Sebagai sampel data hal tersebut bukanlah sesuatu yang asing lagi.

Dengan tidak menafikkan fakta tersebut secara tak langsung, maka ada sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Dengan sampel berupa fakta tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar dari anak-anak bangsa telah terjangkit oleh VCS (Virus Cinta Sinetron). Virus yang mempunyai notabene sebagai media penghibur.

Lantas mengapa di sebut sebagai virus? Virus adalah parasit yang diam-diam namun mematikan. Tak lepas dari hal tersebut, jika di analogikan bahwa sinetron adalah virus, maka berarti bahwa sinetron itu mempunyai daya parasit yang sangat hebat. Dan yang perlu digaris bawahi bahwa pemikiran manusia lah sebagai inang yang akan ditempeli oleh parasit tersebut (sinetron).

Secara sadar ataupun tidak bangsa ini sedang dijajah pemikirannya. Dan yang lebih mengejutkan perlu diakui bahwa sinetron merupakan bentuk penjajahan pemikiran tersebut. Statement ini sangat realistis, sejalan dengan fakta linkungan yang terjadi di Negara Indonesia saat ini. Banyak perubahan pola hidup di era ini, terutama di kalangan pemuda. Perilaku dan norma positif di masyarakat zaman dahulu akan sangat berbeda jauh dengan zaman sekarang. Tata cara bergaul orang zaman dahulu lebih baik dari pada yang terjadi saat ini.

Perlu diakui bahwa fakta-fakta tentang perubahan dari zaman-kezaman ini tidak  lazim. Selazimnya adalah perubahan ke arah yang lebih baik, dengan meninggalkan keburukan. Namun faktanya adalah perubahan kearah yang lebih baik ada namun, perubahan kearah keburukan pun juga tak kalah dominan. Inilah bentuk penjajahan pemikiran yang kurang lebihnya berasal dari sinetron.

Cara berpakaian artis pun ditiru oleh anak-anak muda zaman sekarang. Padahal cara berpakaian itu tidak semuanya baik dan memenuhi norma positif yang berlaku, namun ditiru mentah-mentah dan dijadikan sebagai hal yang fashionable dan ngetrend. Akhirnya hal yang demikian lambat laun dianggap sebagai sebuah kewajaran. Dengan demikian, terjadilah degradasi moral di tiap zaman dari hasil penjajahan pemikiran tersebut, meskipun sedikit demi sedikit dan tak begitu frontal. Pada akhirnya tak hanya cara berpakaian saja yang ditirukan, namun pola hidup artis juga mereka tirukan. Secara tidak sadar, budaya tersebut merupakan budaya barat yang secara kearifan lokal, tingkat nilai kepositifannya jauh dibawah kearifan lokal yang sebenarnya ada di Indonesia. Secara logis dapat di perkirakan dengan kondisi seperti ini tak lama lagi budaya Indonesia akan benar-benar sama dengan budaya barat.

Bukti dari perubahan-perubahan perilaku masyarakat terutama dikalangan pemuda adalah sudah maraknya free sex. Jika dibandingkan dengan pemuda zaman dahulu, maka persentase free sex itu akan terlihat jauh. Perilaku free sex mengembang di Indonesia dengan persentase yang terus menaik dari tahun ke tahun.

Kapan kah penjajahan pemikiran tersebut mulai terjadi? Secara simpel dan sederhana bisa dikatakan bahwa penjajahan itu dimulai sejak anak-anak masih berusia dini. Ketika masih kanak-kanak, seseorang akan mudah di tempeli dengan kebudayaan-kebudayaan yang bernotabene aman, namun memiliki makna terselubung. Anak-anak akan lebih mudah diracuni pemikirannya sehingga pemikiran tersebut menjadi sebuah cara pandang (paradigma) yang wajar tanpa membedakan itu baik atau buruk. Pada akhirnya cara pandang tersebut akan membawa seorang anak kepada sebuah kebiasaan yang dianggapnya sebagai suatu kebiasaan yang wajar tanpa peduli seperti apa pandangan orang lain terhadap hal tersebut. Kebiasaan tersebut akan menjadi budaya apabila seluruh orang disekitarnya juga memiliki sebuah pemikiran yang sama secara kontekstual dan mendukung kebiasaan tersebut. Hal ini akan menjadi sebuah awal mula infiltrasi budaya lain ke dalam budaya lokal. Lambat laun proses infiltrasi tersebut akan menyebar dan mewabah jika tidak segera dilakukan penanganan.

Dari manakah awal mula munculnya pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan kearifan lokal budaya di Indonesia? Melihat kondisi-kondisi tersebut akan dapat disimpulkan bahwa awal mulanya adalah dari sinetron. Perhatikan saja konten sinetron-sinetron di Indonesia saat ini. Sama sekali tidak ada yang berbau pendidikan. Budaya dan pola hidup yang ditawarkan sinetron juga buruk dan lebay. Akhirnya pemirsa sinetron bersangkutan juga ikut-ikutan lebay. Bisa jadi mulai dari cara bicara, berjalan, berpakaian, dan hal-hal lainnya akan sangat berefek di masyarakat luas.

Untuk mencegah hal ini terjadi perlu sebuah tindak lanjut dan perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat. Apabila hal seperti ini dibiarkan, budaya Indonesia lama-lama akan hilang dari peradaban.

Ingat lah bahwa anak-anak adalah penerus generasi dimasa yang akan datang. Perlu pendidikan yang benar dan matang. Terlebih lagi bahwa ada fakta yang menunjukkan, keteladanan merupakan faktor utama pembentukan kepribadian anak-anak. Jika teladannya sudah salah, maka kepribadiannya juga akan salah. Jika teladannya tokoh sinetron, maka kedepan jangan salahkan siapapun jika tokoh sinetron tersebut menjadi role model (peran model) dan contoh anak tersebut dalam berperilaku dari berbagai aspeknya. Dan yang perlu diperhatikan adalah jika hal tersebut terlanjur menjadi kebiasaan, maka akan sangat sulit mengubahnya, karena kebiasaan itu berasal dari pemikiran yang sudah terlanjur mengakar di hati dan pikirannya. Sama halnya dengan pohon beringin yang akan sulit di cabut karena akarnya sudah menancap dalam dan bercabang-cabang. Berikanlah teladan yang baik kepada calon-calon penggenggam masa depan bangsa.

Awas bahaya berlarut-larut melihat sinetron!!!…….

Kejujuran itu Kesalahan, Mau dibawa Kemana Bangsa Ini?

“Zaman sekarang udah zaman edan, yang benar disalahkan, dan yang salah dibenarkan

Ya.. Kurang lebih seperti itulah kondisi dan realita yang terjadi saat ini. Ketika kita melakukan perbuatan yang baik, selalu saja ada penentang perbuatan kita, entah yang terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sebaliknya, ketika kita melakukan yang jelas-jelas salah, malah banyak yang mendukung dan banyak pula yang ikut-ikutan.

Contoh gamblangnya seperti mencontek saat ujian. Mencontek dipandang sebagai hal yang buruk. Namun tetap saja menjadi hal yang sering dilakukan oleh banyak orang.  Jika kondisi seperti ini dibiarkan terus-menerus maka akan berakibat  fatal. Akan tumbuh generasi-generasi muda yang bermental pengecut.

Peradaban masyarakat seharusnya sesuai dengan nilai-nilai dan hukum positif yang berlaku di suatu daerah. Namun lagi-lagi kini mental pengecut sudah melanda masyarakat pada umumnya. Akhirnya nilai-nilai positif itu hanya dianggap sebuah angin lalu yang tiada meninggalkan bekas.

Sebuah ongkos mahal untuk mempertahankan kejujuran. Hal ini dialami oleh Ibu Siami. Ia di caci , dimaki, bahkan diusir akibat melaporkan guru SDN Gadel 2 yang memaksa anaknya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional pada 10 s.d 12 Mei 2011. Ibu siami dituduh mencemarkan nama baik kampung dan sekolah.

Dari kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa saat ini kejujuran menjadi sebuah momok dan perilaku yang menakutkan di tengah masyarakat. Pasalnya kejujuran yang merupakan sebuah kebaikan malah disalahkan. Padahal kejujuran itu sendiri merupakan sebuah perilaku yang tidak menyalahi nilai-nilai positif di tengah masyarakat.

Itulah sebuah potret bangsa yang terjadi saat ini. Siswa di didik sebagai calon koruptor. Dikatakan demikian karena pada dasarnya mencontek itu sama saja dengan bakal korupsi. Meskipun terlihat sepele namun hal tersebut memang benar-benar terjadi. Nilai-nilai positif sudah tidak dijunjung lagi. Padahal seharusnya nilai-nilai positif itu ditanamkan pada anak-anak calon penerus bangsa sejak dini.

Saat ini mencontek bisa dibilang korupsi kecil untuk sekelas seorang anak kecil. Suatu saat nanti ketika cara pandang seperti ini tidak dihilangkan, bisa jadi korupsi uang Negara menjadi hal yang dipandang kecil juga oleh orang sekelas pejabat Negara. Krisis pemimpin di Indonesia saat ini sejalan dengan Krisis kejujuran. Ketika kejujuran tidak ditegakkan, maka generasi yang tumbuh di masa yang akan datang nanti adalah sebuah generasi yang bermental koruptor.

Untuk mengatasi masalah kejujuran seperti itu harus dimulai sejak anak masih usia dini. Yaitu dengan menanamkan nilai-nilai positif kepada seorang anak. Karena masa tersebut adalah masa belajar dan masa pertumbuhan baik dari segi berpikir maupun bertindak. Pemerintah benar-benar harus memperhatikan masalah kejujuran juga. Selama ini yang terasa di tengah masyarakat bahwa pendidikan hanya difokuskan pada masalah kurikulum, tanpa memperhatikan aspek-aspek pembinaan terhadap anak didik. Hal tersebut terbukti dapat dilihat diberbagai sekolah negeri yang menitik beratkan masalah prestasi siswa dibandingkan masalah pembentukan kepribadian. Harus ada sebuah mekanisme untuk melakukan pembinaan dan strategi khusus untuk menyisipkan nilai-nilai positif kepada peserta didik terutama yang masih ada dalam tataran TK, SD dan SMP. Karena disitulah masa-masa pembentukan budaya dan sikap untuk peserta didik yang sederajat dengan tingkat pendidikan tersebut.

Menggantung Kemajuan Ekonomi Bangsa di Tangan Technopreneur Indonesia

Sosiolog David McClelland berpendapat,”Suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya”

Technopreneur saat ini menjadi tulang punggung kemajuan berbagai Negara di berbagian belahan dunia. Negara-negara seperti Cina, Malaysia, dan Singapura merupakan sebagian kecil Negara yang telah menerapkan entrepreneur di bidang teknologi ini sebagai tulang punggung perekonomian Negara. Hal tersebut merupakan fakta-fakta kasat mata apabila di analisis lebih jauh lagi.

Berdasarkan data yang ada, jumlah entrepreneur di Indonesia baru mencapai 0,2% dari jumlah penduduknya. Sebagai perbandingan perbandingan entrepreneur di Malaysia berjumlah 3%, Singapura 7,2%, dan Cina 10%. Tidak dapat ditampik bahwa keberadaan technopreneur sebagai sub bagian dari entrepreneur merupakan aktivitas di sektor riil yang berkembang pesat disetiap Negara maju. Bukti tersebut menunjukkan adanya sebuah tantangan nyata yang bersifat global.

Industri yang inovatif menjadi kunci utama dari keberhasilan pembangunan di suatu Negara. Dengan munculnya technopreneur, pergerakan ekonomi akan menjadi cepat dan dinamis. Keberadaan technopreneur dapat menopang ekonomi rakyat sehingga kesejahteraan akan lebih mudah terwujud.

Di Indonesia jumlah entrepreneur baru mencapai 0,2% dari jumlah penduduknya. Kondisi ini dipandang sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Dengan fakta seperti ini, sulit bagi Indonesia untuk mampu bersaing dengan negara-negara lain. Jika ingin memajukan perekonomian, maka diperlukan 1,8 % lagi entrepreneur  dari jumlah penduduknya yang ada. Oleh karena itu diperlukan sebuah percepatan untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Technopreneur merupakan solusi percepatan yang memungkinkan sebuah adanya beragam inovasi.

Technopreneur menjadi hal yang perlu untuk dipertimbangkan untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan yang panjang. Realita yang terjadi bahwa teknologi terutama di bidang IT saat ini menjadi kebutuhan yang utama dan pertama diberbagai belahan dunia. Kebutuhan teknologi dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan yang tajam dan signifikan seiring dengan pertumbuhan penduduk di setiap Negara. Dengan melihat sedemikian besarnya jumlah konsumen, tentu akan terbuka lebar peluang mencari profit untuk negara yang mampu menguasai teknologi . Mau ataupun tidak, tentunya Indonesia harus mampu untuk mengambil peluang besar yang terbelalak di depan mata ini.

Jika dikaitkan dengan keadaan Indonesia saat ini, terlihat jelas bahwa Indonesia saat ini masih belum siap untuk menyambut dan menyapa datangnya era kemajuan teknologi ini. Secara logis dapat disimpulkan juga bahwa technopreneur di Indonesia pun masih kurang berkembang. Dengan kondisi ini juga dapat dipastikan bahwa peluang kesiapan untuk menghadapi era globasasi terlalu kecil. Hal tersebut bisa disebabkan kurangnya perhatian pemerintah maupun sumber daya manuasia yang ada. Bisa jadi pemerintah tidak terlalu menanggapi dengan serius keadaan ini, namun bisa juga disebabkan sumber daya manusianya yang masih berperilaku konsumtif dan kurang produktif.

Keadaan yang ada saat ini perlu menjadi evaluasi besar bagi pemerintah, bahwa mental technopreneur sumber daya manusia yang ada belum terbentuk. Perilaku konsumtif masih terlalu dominan dan produktifitas tidak begitu mapan. Jika kondisi seperti ini dibiarkan berlarut, maka bisa dipastikan Indonesia akan berada dalam kondisi yang terpuruk untuk 15 tahun kedepan. Perlu adanya sebuah inovasi dari pemerintah untuk mengatasi permasalah seperti ini.